Oleh: Umi Nafilah*
Bulan Desember, hampir setiap memasuki bulan tersebut ramai seruan-seruan terhadap toleransi umat beragama, khususnya toleransi umat Islam terhadap orang Nasrani.
Nuansa natal terasa di mana-mana. Toko-toko, mal-mal, berbagai pusat perbelanjaan, kantor-kantor, tempat kerja dan tempat-tempat lainnya pun ramai dihiasi aksesoris natal seperti pohon cemara disertai lampu warna-warni yang identik dengan natal.
Fenomena di masyarakat saat terdapat peringatan hari besar agama selain Islam, sebagian umat Islam atas nama persahabatan dan toleransi memakai atribut atau simbol keagamaan non muslim yang akan berdampak pada siar keagamaan mereka.
Tidak hanya itu, untuk memeriahkan kegiatan keagamaan tersebut, ada sebagian pemilik usaha seperti super market, restoran, department store mengharuskan karyawannya termasuk yang muslim untuk menggunakan atribut keagamaan dari non muslim.
Bahkan yang lebih mengejutkan, beberapa hari yang lalu ada kasus di hotel Novita Jambi yang meletakkan hiasan berupa miniatur gereja dan terdapat lafadz ALLAH dalam bahasa Arab yang disusun menggunakan batu di depan miniatur gereja dengan posisi dilantai, sementara dibagian atas ada simbol salib.
Jika kita analisis, natal telah dijadikan momentum untuk menanamkan ide pluralisme dan ide sinkretisme. Ide pluralisme mengajarkan bahwa semua agama sama.
Ide ini mengajak umat Islam untuk menganggap agama lain juga benar. Jika ide pluralisme berhasil ditanamkan ditubuh umat Islam, hal-hal yang selama ini sensitif terkait masalah agama seperti nikah beda agama, pemurtadan dan sebagainya akan mudah berjalan.
Sedangkan, ide sinkretisme yaitu pencampuradukan ajaran agama-agama. Padahal sudah jelas bahwa tidak ada kompromi dan pencampuradukkan dalam hal keyakinan atau keimanan seseorang terhadap suatu agama.
Lantas, apa makna toleransi yang sebenarnya? Toleransi merupakan kata yang berasal dari Barat. Secara bahasa, berasal dari kata tolerance. Maknanya adalah “to endure without protest” (menahan perasaan tanpa protes).
Kata tolerance kemudian diadopsi ke dalam bahasa Indonesia menjadi toleransi yang mengandung makna bersikap atau bersifat menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan) yang berbeda atau bertentangan dengan pendiriannya (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
Berbeda dengan makna sesungguhnya, saat ini yang terjadi justru muncul sikap toleran yang menyesatkan, terutama pada sebagian muslim.
Disampaikan bahwa sikap bertoleransi itu harus diwujudkan dengan memberikan selamat, menghadiri perayaan hari raya non Muslim bahkan dianggap toleran jika muslim meninggalkan keyakinannya yang tidak sesuai dengan keyakinan orang lain.
Misalnya, keyakinan bahwa perempuan muslimah haram menikah dengan laki-laki non Muslim, mempertahankan keyakinan demikian dianggap tidak toleran.
Dari kesalahpahaman toleransi yang sesungguhnya, maka Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa Nomor 56 Tahun 2016, tentang menggunakan atribut keagamaan non Muslim.
Dalam fatwa tersebut, MUI menegaskan hukum menggunakan atribut keagamaan non Muslim adalah haram.
Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Hasanuddin menilai, atribut keagamaan adalah sesuatu yang dipakai dan digunakan sebagai identitas, ciri khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan atau umat beragama tertentu, baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah, maupun tradisi dari agama tertentu.
Dalam hal ini jelas, umat Islam haram terlibat dalam peribadatan pemeluk agama lain, umat Islam juga haram merayakan hari raya agama lain, apapun bentuknya, karena seperti itu termasuk bagian dari aktivitas keagamaan dan dekat dengan peribadatan.
Walaupun menggunakan atribut agama lain misalnya atribut natal yang dianggap bukan bagian dari peribadatan, namun tetap saja dilarang karena atribut tersebut identik dengan natal dan identik dengan orang nasrani. Memakai atribut natal berarti menyerupai mereka.
Padahal jelas Rosulullah melarang demikian. “Siapa saja yang menyerupai suatu kaum maka dia bagian dari mereka” HR. Abu Dawud dan Ahmad.
Lalu, apakah tidak ada toleransi di dalam Islam? Jelas ada. Islam mengharuskan sikap toleransi. Lantas, bagaimana toleransi di dalam Islam?
Toleransi di dalam Islam yaitu membiarkan umat lain untuk menjalankan agamanya termasuk perayaan agamanya dan tidak memaksa umat lain untuk memeluk Islam.
Sedangkan, toleransi dalam hubungan antara sesama manusia dicontohkan oleh Muhammad SAW, beliau berjual beli dengan non muslim secara adil dan fair.
Rosulullah pun juga menjenguk non muslim tetangga beliau yang sedang sakit. Beliau juga bersikap dan berbuat baik kepada non muslim. Toleransi semacam ini telah memberikan contoh bagi masyarakat lain. Bahkan toleransi Islam tetap terasa hingga masa akhir Khilafah Utsmaniyah.
Toleransi pada masa Utsmani yang diakui kebenarannya oleh seorang orientalis Inggris,
TW Arnold dalam bukunya, “The Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith, 1896, hlm. 134” menyatakan bahwa
“The treatment of their Christian subjects by the Ottoman emperors –at least for two centuries after their conquest of Greece- exhibits a toleration such as was at that time quite unknown in the rest of Europe
(“Perlakuan terhadap warga kristen oleh pemerintahan Khilafah Turki Utsmani –selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani- telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa”)
Seorang Yahudi bernama Max I. Dimon juga menyatakan, salah satu akibat dari toleransi Islam adalah bebasnya orang-orang Yahudi berpindah dan mengambil manfaat dengan menempatkan diri mereka di seluruh pelosok imperium Islam yang amat besar itu.
Lainnya ialah bahwa mereka dapat mencari penghidupan dalam cara apapun yang mereka pilih, karena tidak ada profesi yang dilarang bagi mereka, juga tak ada keahlian khusus yang diserahkan kepada mereka”
Pengakuan Max I. Dimon atas toleransi Islam pada orang-orang yahudi di Andalusia itu sungguh tepat. Bahkan dia pun menyatakan bahwa dalam peradaban Islam, masyarakat Islam membuka pintu masjid dan kamar tidur mereka, untuk konversi, edukasi dan asimilasi.
Kaum Yahudi tidak pernah mengalami hal yang begitu bagus sebelumnya. dan masih banyak histori luar biasa tentang toleransi di dalam Khilafah
Dari penjelasan diatas tentang toleransi yang diajarkan di dalam Islam, hendaknya umat Islam tetap menjaga kerukunan hidup antara umat beragama, memelihara harmonis kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa menodai ajaran agama.
Tidak mencampuradukkan antara akidah dan ibadah Islam dengan keyakinan agama lain dan Umat Islam diminta untuk saling menghormati keyakinan dan kepercayaan setiap agama, sehingga umat Islam tidak terjebak dalam seruan toleransi yang tidak dibenarkan di dalam Islam.
Sungguh hanya dengan Khilafahlah akidah umat Islam dapat terlindungi dan terjaga, bahkan Khilafah pula dapat mewujudkan toleransi yang sesungguhnya.
Bukan toleransi yang dibelokkan untuk kepentingan tertentu, toleransi yang tidak menciderai agama satu dengan agama yang lain.
*Penulis adalah Alumnus FKIP Universitas Muhammadiyah Jember, yang saat ini mengabdikan dirinya sebagai Aktivis MHTI Jember